Copy Editing Yang Baik dan Benar By Bambang Trim
Profesi editor masih saja asing di telinga kebanyakan orang
Indonesia, bahkan di dunia. Karena itu, wajar jika tak banyak yang tahu
tentang profesi yang satu ini sehingga bisa dimaklumi hampir tak ada
orang yang bercita-cita menjadi editor. Lalu, mengapa tetap ada orang
yang kemudian berkiprah menjadi editor? Ya, mereka itu orang yang
kebetulan “terperosok” dalam dunia penerbitan buku dan para autodidak.
Tidak percaya?
Fakta di AS menyebutkan bahwa 80% editor yang diteliti tidak
langsung memiliki keinginan untuk menjadi editor. Kebanyakan editor
yang menceburi diri dalam industri perbukuan secara kebetulan atau
accidental. Hasil penelitian dari The Association of American
Publishing (1977) menemukan bahwa sebagian besar editor buku umum dan
pendidikan tinggi di AS menekuni pekerjaan lain sebelum menjadi editor.
Kebanyakan mereka memasuki bidang penerbitan secara kebetulan; karena
hubungan keluarga, karena tidak tahu apa bidang yang sesuai, dan karena
mencintai buku atau karena mau jadi penulis, tetapi tidak tahu caranya.
Hanya segelintir orang yang benar-benar mempersiapkan diri dalam dunia
penerbitan.
Dalam kajian Coser, Kadushin, dan Powell (1982) ditemukan bahwa
pekerjaan sebagai editor dianggap kedudukan yang paling tinggi dalam
dunia penerbitan. Sembilan puluh persen dari editor yang diselidiki
oleh mereka juga tidak mempunyai cita-cita awal menjadi editor. Nah lho!
Mengapa sih perlu ada makhluk yang bernama editor dan sampai-sampai
ada orang yang akhirnya menetapkan jalan hidupnya sebagai editor?
Secara logika jika melihat perkembangan penerbitan buku di dunia,
termasuk di Indonesia sedemikian pesatnya, tentu masyarakat itu akan
mafhum bahwa mereka memang semestinya tidak mendapatkan bahan bacaan
yang amburadul. Para editor itu ternyata diperlukan untuk menjernihkan
makna sebuah tulisan, membuatnya enak dibaca, dan memotivasi minat
membaca. Dengan jutaan buku yang terbit setiap bulannya, tentu peluang
untuk pekerjaan yang misterius ini terbuka lebar sehingga ada orang
yang secara sengaja maupun tidak sengaja akhirnya berkecimpung di sana
dan tak mau kembali lagi.
Tentang Copyeditor: Sejenis Editor
Dari beberapa jenis editor yang sebenarnya dikenal dalam dunia
penerbitan, yang paling populer adalah copyeditor—sering juga disebut
editor kopi atau editor nas. Copyeditor dengan pekerjaannya copyediting
memang menjadi model paling mudah untuk menjelaskan pekerjaan seorang
editor. Akan tetapi, tak banyak juga penerbit yang mengerti apa beda
seorang copyeditor dengan editor-editor lainnya (seperti right editor
atau acquiring editor). Kebanyakan profesi copyeditor ini di Indonesia
disebut tunggal saja yaitu editor—yang melakukan pekerjaan editing
naskah, mencari naskah, bernegosiasi, menguruskan perizinan, dan
sejumlah pekerjaan lainnya yang sebenarnya spesifik biasa dikerjakan
oleh editor jenis tertentu.
Seorang copyeditor sebenarnya hanya melakukan pekerjaan standar
editorial. Dalam “kasta” editor sebagai jenjang karier, ia termasuk
yang paling rendah atau setingkat dengan staf editor jenis lainnya.
Namun, ia menjadi garda depan dalam tugas editorial sebagai pembaca dan
penilai awal naskah. Dua kegiatan besar yang dilakukan dalam proses
copyediting adalah baca pertama (first editing) dan editing mekanik
(mechanical editing).
Karena belum populernya editologi diajarkan di Indonesia sama halnya
dengan profesi itu sendiri, sering proses copyediting tidak sepenuhnya
dipahami dengan baik dan benar oleh editor-editor pemula di Indonesia.
Ada bagian-bagian terlewat, etika yang dilanggar, dan pemahaman akan
profesi yang kurang. Untuk itu, lewat tulisan ini saya coba berbagi
pengalaman dan juga pandangan tentang copyediting yang baik dan benar.
Dengan demikian, para copyeditor dapat bersikap profesional dalam
menyikapi sebuah naskah, perkembangan teknologi, maupun tren penerbitan
buku. Saya mulai dari dua kegiatan besar copyediting tadi.
Baca Pertama
Baca pertama dilakukan pada naskah (hardcopy) untuk menilai kekuatan
ataupun kelemahan naskah. Pada proses baca pertama, seorang copyeditor
dapat membubuhkan tanda-tanda koreksi maupun tanda tanya untuk
mengoreksi naskah. Pada tahap ini pula seorang copyeditor dapat
memeriksa kelengkapan naskah, teknik penyajian, dan kesesuaian naskah
dengan gaya selingkung (house style) penerbit.
Dengan kemajuan komputer sekarang, banyak juga penulis/pengarang
menyertakan softcopy naskah dalam bentuk file. Kekeliruan utama
copyeditor adalah jika ia mencoba melakukan baca pertama lewat naskah
softcopy ini melalui media komputer. Akurasi membaca di layar monitor
komputer tidaklah akan sebaik membaca naskah tercetak karena mata
manusia memiliki keterbatasan. Hal ini kerap terjadi pada editor-editor
pemula yang menganggap bekerja langsung dengan cara “emon” (edit
monitor—istilah baru para editor) adalah cara yang paling efektif dan
modern. Padahal, kerap terjadi terlewatnya kekeliruan naskah atau
hilangnya konsentrasi baca karena kelelahan mata.
Proses baca pertama ini penting dan tidak boleh dilewatkan untuk
dapat menakar kualitas naskah. Yang perlu dipahami bahwa saat baca
pertama, seorang copyeditor jangan terlalu berkonsentrasi mencari
kesalahan naskah (seperti EYD, kalimat, ataupun kebenaran fakta).
Namun, yang dilakukan adalah proses memaknai naskah. Jika digambarkan
dengan segitiga, prosesnya: baca pertama-pahami-maknai. Jadi, seorang
copyeditor harus dapat menemukan ‘benang merah” dari naskah. Seutas
“benang merah” naskah dapat ditemukan apabila naskah tersebut dapat
menjawab pertanyaan berikut ini:
1. Apakah isi naskah sesuai dengan visi dan misi penerbit?
2. Apakah naskah memenuhi syarat penampilan fisik yang ditetapkan penerbit?
3. Apakah naskah memiliki kelengkapan anatomi naskah?
4. Apakah naskah menyajikan topik menarik (unik, belum pernah dibahas, lebih lengkap, kontroversi, dsb.)?
5. Apakah pola penulisan naskah sudah sesuai dengan gaya selingkung penerbit?
6. Apakah bahasa yang digunakan pada naskah sudah sesuai dengan kaidah bahasa yang standar?
7. Apakah maksud atau pesan penulis/pengarang akan mudah tertangkap oleh pembaca?
Pertanyaan-pertanyaan tadi dapat saja ditambahkan lagi oleh penerbit
atau para copyeditor untuk mendeteksi kelayakan terbit sebuah naskah.
Jadi, inti baca pertama adalah menilai naskah, bukan untuk
mengoreksinya. Adapun pembubuhan tanda-tanda koreksi berguna untuk
melihat seberapa besar kekeliruan yang ditemukan dalam naskah ketika
dibaca. Naskah yang mengandung banyak kekeliruan tentu akan mendapatkan
catatan khusus.
Jika kemungkinan besar naskah dianggap bagus dan layak untuk
diterbitkan, seorang copyeditor sebaiknya sudah bisa membayangkan
bagaimana naskah tersebut nantinya dibuat. Di sinilah pengetahuan
editor tentang spesifikasi produksi buku, desktop publishing dan desain
komunikasi grafis sangat diperlukan. Copyeditor harus memiliki gagasan
pengemasan buku yang nantinya dapat disarankan kepada para
penulis/pengarang dan juga kepada managing editor atau chief editor.
Dalam praktik di penerbit-penerbit Indonesia, terkadang tugas
copyeditor yang terakhir ini dibelenggu oleh asumsi bahwa mereka hanya
tukang ngedit belaka. Mereka dibuat hanya peka pada kekeliruan dalam
naskah dan memperbaikinya, tetapi menjadi tidak peka bagaimana buku itu
kelak jadinya. Akibatnya, editor-editor seperti ini kadang hanya
menggunakan otak kiri mereka (logika, kebenaran data dan fakta,
keterbacaan, kebenaran teori) tanpa mengaktifkan otak kanan (empati,
kreativitas, inovasi).
Editing Mekanik
Editing mekanik adalah proses selanjutnya setelah naskah dinyatakan
layak lewat proses baca pertama. Disebut mekanik karena editing
dilakukan secara manual oleh para copyeditor dengan cara membubuhkan
tanda-tanda koreksi ke dalam naskah cetak coba atau pruf (naskah yang
sudah diset dan dilayout selayaknya halaman buku). Secara standar
editing mekanik ini dilakukan dengan dua sampai tiga kali editing pruf.
Untuk kerja ini copyeditor dianjurkan menggunakan bolpoin berwarna
cerah, kertas post-it untuk menempelkan perbaikan kalimat atau
paragraf, spidol pewarna (stabillo) untuk menandai kata atau kalimat
khusus, dan tanda-tanda koreksi yang disepakati atau telah menjadi gaya
selingkung penerbit. Copyeditor sebaiknya tidak menggunakan pensil
karena memperlihatkan rasa tidak percaya diri dan juga sulit untuk
dilihat. Pun tidak dianjurkan menggunakan tanda-tanda koreksi yang
tidak standar karena dapat menimbulkan miscommunication dengan layouter.
Sekali lagi dalam proses editing mekanik ini kerap copyeditor juga
mengambil jalan pintas dengan melakukan edit monitor. Cara ini sangat
tidak dianjurkan meskipun tampaknya akan lebih cepat. Pertama,
copyeditor akan mengambil alih tugas layouter yang mungkin juga malah
mengambil alih penggunaan alat kerjanya. Kedua, editing jenis ini
diragukan akurasinya karena banyak kata atau kalimat yang bisa
terlewat, apalagi kalau harus melakukan editing berat akan sangat
berbahaya kalau tidak piawai menulis.
Dalam proses editing mekanik inilah seorang copyeditor menjaga betul
7 aspek editing yang terkenal itu: 1) keterbacaan dan kejelasan; 2)
konsistensi; 3) kebenaran bahasa; 4) gaya penulisan; 5) ketelitian
fakta dan data; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian produksi. Memang
pada praktiknya menjaga 7 aspek tadi sangatlah berat dan memerlukan
kemampuan ekstra seorang copyeditor. Karena itu, layak juga kalau dalam
dunia editor ada istilah “jam terbang” untuk menilai tingkat kepiawaian
seorang editor.
Nanti mungkin akan tiba masa seorang copyeditor harus melakukan
editing berat. Herman Holtz dalam bukunya yang sangat inspritatif How
to Start and Run Writing and Editing Business menyatakan bahwa sangat
tipis perbedaan antara editing berat dengan penulisan ulang
(rewriting). Dalam konteks ini seorang copyeditor harus mendalami
dahulu gaya bahasa penulisan, baru melakukan editing berat atau
penulisan ulang—dalam arti mengubah beberapa kalimat atau satu paragraf
dari naskah. Haruskah perubahan ini dikonsultasikan? Sebaiknya diberi
tahu dan dikonsultasikan dengan penulis/pengarang yang bersangkutan
agar copyeditor dapat tetap menjaga otoritas sang penulis/pengarang
sembari menawarkan saran perbaikan.
Hasil editing mekanik berupa pruf terkoreksi harus disimpan dengan
baik oleh copyeditor sampai pruf terbit menjadi buku dan sudah
dipastikan aman. Ingat, penghilangan naskah baik sengaja maupun tidak
sengaja oleh editor dianggap pelanggaran kode etik editing, termasuk
penghilangan bukti editing pruf. Hasil editing tersebut nantinya dapat
dijadikan bahan penyelidikan apabila dilakukan penelusuran terhadap
kekeliruan di dalam buku. Pruf terkoreksi menjadi bukti dan fakta nyata
apabila ditemukan kekeliruan pada buku yang mungkin disebabkan oleh
keteledoran editor, keteledoran layouter/desainer, atau keteledoran
petugas pracetak dan percetakan.
***
Prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang copyeditor adalah 4C,
yaitu kejelasan (clarity), keterkaitan (coherency), ketaatasasan
(concistency), dan kebenaran (correctness). Jadi, perlakukan naskah
sebagaimana mestinya dengan tujuan menjadikan naskah tersebut
benar-benar dapat dibaca, dipahami, dan menggerakkan pikiran
pembacanya. Alhasil, pekerjaan seorang copyeditor tidak bisa dianggap
remeh dengan alasan waktu ataupun naskah ditulis oleh seorang
penulis/pengarang terkenal. Seorang copyeditor harus benar-benar
profesional dengan melakukan persiapan matang dalam editing naskah.
Ada kalanya seorang copyeditor dibebani tugas mengedit dua naskah
sekaligus. Bagaimana ia bisa menyikapi hal ini? Di sinilah seorang
editor atau copyeditor itu dituntut kemampuan mengelola waktu,
memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Karena itu, editor tidak
hanya perlu cerdas intelektual, tetapi juga cerdas emosional. Ia harus
bisa berkomunikasi dengan baik sehingga para penulis/pengarang tidak
akan mempersulit dia, editor ahli mau memberi tahu dia, dan layouter
senang mengikuti saran-sarannya.
Di sinilah asumsi bahwa editing atau copyediting itu sebenarnya juga
sebuah seni. Buku yang baik tentu berasal dari hasil copyediting yang
baik dan benar serta ditambah citarasa seni sang copyeditornya
mengelola naskah hingga menjadi buku. Setiap buku memang pasti akan
memiliki riwayat penyuntingannya masing-masing. Dan buku yang baik
dengan riwayat penyuntingan yang membanggakan tentu akan menjadi
sesuatu yang sangat berharga bagi copyeditor walau namanya tidak
terangkat setinggi nama penulis/pengarangnya.
Demikianlah meskipun bidang profesinya tidak terkenal, sulit
sebenarnya menjadi seorang copyeditor yang baik dan benar alias piawai.
Copyeditor harus tidak melewatkan kesempatan mengedit naskah sebagai
ujian kemampuan bagi jam terbangnya. Semoga tulisan ini sedikit
banyaknya bisa membagi pencerahan itu.
sumber: http://danielcmahendra.wordpress.com/2007/05/01/copyediting-yang-baik-dan-benar/
sumber foto: http://www.pembelajar.com/nimages/754.jpg
No comments:
Post a Comment